Rabu, 19 Januari 2011

slankers UIN Bandung

touring slank subang

fiqh safi'i

BAB V
MENGQASAR SHALAT
(MERINGKAS SHALAT)
Bagi musafir diperbolehkan mengqashar shalat, yang asalnya 4 (empat) rakaat menjadi 2 (dua) rakaat. Hal ini disyariatkan oleh Allah SWT karena diduga kuat dalam safar itu terjadi sesuatu kesulitan, maka Allah SWT memberi keringanan untuk menqashar shalat.
Firman Allah:

Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang (mu)”. (Q.S. an-Nisa ayat 101).
Sabda Rasulullah Saw menjawab pertanyaan Umar bin Khattab tentang ayat di atas:
صدقة تصدق الله بـها عليكم فاقبلوا صدقته (رواه مسلم)
Artinya: ”Bahwa mengqashar shalat adalah shadaqah dari Allah kepadamu, maka terimalah shadaqahNya”. (H.R.
وعن ابن عمر رضى الله عنه: سافرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وابى بكر وعمر وكانوا يصلون الظهر والعصر ركعتين ركعتين (اخرجه الشيخان)
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a.: “Aku telah mengadakan perjalanan bersama Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, mereka melaksanakan shalat Dhuhur dan ‘Ashar dua rakaat, dua rakaat”. (Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim).
A. Syarat safar (perjalanan)
Disyaratkan bagi safar yang diperbolehkan mengqashar shalat beberapa hal:
1. Safar yang ditempuh bukan safar maksiat tetapi safar untuk melaksanakan suatu kewajiban, seperti safar untuk menunaikan ibadah haji atau membayar utang. Safar sunat seperti silaturahmi dan safar yang diperbolehkan seperti berdagang atau berdarma wisata.
Adapun jika safar yang ditempuhnya safar maksiat seperti safar untuk mengambil minuman keras, merampok, wanita yang nusuz dari suaminya dan lain sebagainya, maka tidak diperbolehkan mengqashar shalat.
2. Safar (perjalanan) yang ditempuhnya berjarak jauh, yaitu dua hari perjalanan dengan jalan kaki atau ± 84 (delapan puluh empat) KM.
Ibnu Abbas berkata:
لاتقصر الصلاة فى اقل من اربعة برد بين مكة وعسفان
Artinya: “Tidak diqashar shalat jika kurang dari 4 (empat) barod yaitu antara Mekah dan Usfan”.
Sedangkan jarak antara Mekah dengan Usfan dapat ditempuh dalam 2 (dua) hari perjalanan.
3. Shalat yang diqashar itu adalah shalat ada’ (kontan) yang 4 (empat) rakaat bukan shalat yang diqadha.
Jika seseorang ketiduran atau lupa mengerjakan shalat di waktu berada di kampung halamannya, kemudian dia mengqadhanya di waktu safar maka shalat itu tidak boleh diqashar; begitu juga sebaliknya. Jika dia tertinggal shalat di waktu safar kemudian dia mengqadhanya di kampung halamannya setelah tiba dari safar, maka tidak boleh diqashar.
Adapun syarat mengqashar shalat ada 5 (lima) hal:
a. Niat qashar.
Jika tidak berniat qashar maka shalatnya harus tetap di sempurnakan 4 (empat) rakaat.
b. Mengqashar shalat itu harus di perjalanan, tidak boleh sebelum berangkat atau setelah tiba kembali ke rumah, karena firman Allah:
واذا ضربتم فى الارض
artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi”.
c. Mengetahui bahwa shalat itu boleh diqashar
Bagi orang yang tidak tahu bahwa shalat itu boleh diqashar, tidak boleh mengqashar shalat. Firman Allah:

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Q.S. an-Nahl ayat 43)
d. Tidak boleh bermakmum kepada imam yang shalatnya di sempurnakan 4 (empat) rakaat atau bermakmum kepada orang yang mukim (berada di kampung halamannya), karena orang yang mukim tidak diperbolehkan mengqashar shalat.
e. Shalat yang diqashar adalah shalat yang 4 (empat) rakaat yaitu Dhuhur, ‘Ashar dan ‘Isya; jadi tidak boleh mengqashar shalat magrib dan subuh.
B. Kapan musafir mulai boleh mengqashar shalat
Seorang musafir tidak diperbolehkan mengqashar shalat sebelum meninggalkan bangunan-bangunan di tempat yang dia tinggalkan.
Ibnu Mundzir berkata: “Aku tidak pernah mengetahui bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw mengqashar shalat dalam safarnya dari beberapa safar yang dilaksanakan oleh beliau kecuali setelah beliau keluar dari kota Madinah”.
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalat selama dia berada didalam perjalanan. Jika dia bermukim di suatu tempat karena sesuatu hajat (kebutuhan) dia boleh mengqasharnya selama 4 (empat) hari kemudian sesudah itu dia harus menyempurnakan shalatnya 4 (empat) rakaat, baik dia telah menyelesaikan hajatnya maupun belum menyelesaikannya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dikatakan:
انه صلى الله عليه وسلم قدم مكة صبيحة رابعة من ذى الحجة فأقام بـها الرابع والخامس والسادس والسابع وصلى الصبح فى اليوم الثامن ثـم خرج الى منى فلما اقام صلى الله عليه وسلم بـمكة اربعة ايام يقصر الصلاة وكان عازما على الاقامة الى ان يعمل اعمال الحج.
Artinya: “Bahwa Nabi Saw telah datang ke Mekah pada subuh hari ke empat dari bulan Dzulhijjah, lalu beliau tinggal di Mekah hari ke empat, ke lima, ke enam dan ke tujuh, dan beliau shalat subuh pada hari ke delapan lalu pergi ke Mina dan setelah Rasulullah Saw bermukim kembali di Mekah selama 4 (empat) hari beliau mengqashar shalat dan beliau bermaksud bermukim sampai menyelesaikan seluruh rangkaian amalan haji”.
Hadits ini menunjukan bahwa orang yang bermaksud bermukim di suatu tempat dalam waktu yang di tentukan dia boleh mengqashar shalat selama 4 (empat) hari dan setelah itu dia menyempurnakan lagi shalatnya, sebagaimana hal itu pernah di perbuat oleh Rasulullah Saw.
Imam Syafi’i berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah mengqashar shalat selama 19 (sembilan belas) hari atau 18 (delapan belas) hari”.
عن ابن عباس رضى الله عنه قال: اقام النبى صلى الله عليه وسلم فى بعض اسفاره تسع عشرة يصلى ركعتين فنحن اذا اقمنا تسع عشرة نصلى ركعتين واذا زدنا على ذلك اتـممنا (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata: “Nabi Saw telah bermukim pada sebagian perjalanannya selama 19 (sembilan belas) hari, beliau melakukan shalat 2 (dua) rakaat, maka kami pun jika bermukim selama 19 (sembilan belas) hari, kami pun melakukan shalat 2 (dua) rakaat dan apabila kami bermukim lebih dari 19 (sembilan belas) hari, maka kami menyempurnakan shalat”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 5 TAHUN 1960 (5/1960)
Tanggal : 24 SEPETEMBER 1960 (JAKARTA)
Sumber : LN 1960/104; TLN NO. 2043
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b. bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c. bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d. bahwa bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum; Berpendapat :
a. bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan diatas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama;
b. bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya,fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud diatas dan harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
c. bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan. Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan cita-cita bangsa, seperti yang tercantum didalam Pembukaan Undangundang Dasar.
d. bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong;
e. bahwa berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendisendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk Undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut diatas;
Memperhatikan :
Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. I/Kpts/Sd/II/60 tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;
Mengingat :
a. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;
b. Pasal 33 Undang-undang Dasar;
c. Penetapan Presiden No. I tahun 1960 (Lembaran-Negara 1960 No. 10) tentang Penetapan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai Garis-garis besar dari pada haluan Negara dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d. Pasal 5 jo. 20 Undang-undang Dasar; Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong -Royong.
Memutuskan:
Dengan mencabut:
1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;
2. a. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118);
b"Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A;
c. "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f;
d. "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55;
e. "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini;
Menetapkan :
Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
PERTAMA
BAB I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK.
Pasal 1.
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional
3. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
4. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.
5. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia.
6. Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Pasal 2.
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Pasal 3.
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 4.
1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3. Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.
Pasal 5.
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Pasal 6.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Pasal 7.
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
Pasal 8.
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.
Pasal 9.
1. Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
2. Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Pasal 10.
1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2. Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
3. Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.
Pasal 11.
1. Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
2. Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
Pasal 12.
1. Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.
2. Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria.
Pasal 13.
1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Pasal 14.
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya:
a. untuk keperluan Negara,
b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 15.
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
BAB II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA
PENDAFTARAN TANAH.
Bagian 1.
Ketentuan-ketentuan umum.
Pasal 16.
1. Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:.
a. hak milik.
b. hak guna-usaha,
c. hak guna-bangunan,
d. hak pakai,
e. hak sewa,
f. hak membuka tanah,
g. hak memungut-hasil hutan,
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebutdiatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
pasal 53.
2. Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah:
a. hak guna air,
b. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan,
c. hak guna ruang angkasa.
Pasal 17.
1. Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
2. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.
3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
4. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.



Pasal 18.
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Bagian II
Pendaftaran tanah.
Pasal 19.
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Bagian III
Hak milik,
Pasal 20.
1. Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 21.
1. Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
4. Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.
Pasal 22.
1. Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena :
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan Undang-undang.
Pasal 23.
1. Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
Pasal 24.
Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 25.
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.


Pasal 26.
1. Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Pasal 27.
Hak milik hapus bila:
a. tanahnya jatuh kepada negara,
1. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
3. karena diterlantarkan;
4. karena ketentuan -pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
b. tanahnya musnah.
Bagian IV.
Hak guna-usaha.
Pasal 28.
1. Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
2. Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 29.
1. Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
2. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
3. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.
Pasal 30.
1. Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah.
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia,
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak gunausaha, yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.
Pasal 32.
1. Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 33.
Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 34.
Hak guna-usaha hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Bagian V.
Hak guna-bangunan.
Pasal 35.
1. Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
3. Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Pasal 36.
1. Yang dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah
a. warga-negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak gunabangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37.
Hak guna-bangunan terjadi:
a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara; karena penetapan Pemerintah.
b. mengenai tanah milik; karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.
Pasal 38.
1. Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
Pasal 39.
Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Pasal 40.
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. jangka waktunya berakhir;
b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. dicabut untuk kepentingan umum;
e. diterlantarkan;
f. tanahnya musnah;
g. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).


Bagian VI.
Hak pakai,
Pasal 41.
1. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuanketentuan Undang-undang ini.
2. Hak pakai dapat diberikan:
a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu;
b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
3. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Pasal 42.
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah
a. warga-negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Pasal 43.
1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
2. Hak pakai atas tanah-milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
Bagian VII.
Hak sewa untuk bangunan.
Pasal 44.
1. Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
2. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan
a. satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
3. Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsurunsur pemerasan.
Yang Pasal 45.
dapat menjadi pemegang hak sewa ialah:
a. warga-negara Indonesia;
b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Bagian VIII.
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan.
Pasal 46.
1. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat ipunyai oleh warga-negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
Bagian IX.
Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan.
Pasal 47.
1. Hak guna air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertent dan/atau mengalirkan air itu diatas tanah orang lain.
2. Hak guna-air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian X.
Hak guna ruang angkasa.
Pasal 48.
1. Hak guna ruang angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
2. Hak guna ruang angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial.
Pasal 49.
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain.
Pasal 50.
1. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan Undang-undang.
2. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.
Pasal 51 .
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak gunausaha dan hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.
BAB III
KETENTUAN PIDANA.
Pasal 52.
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-
2. Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19, 22, 24, 26, ayat (1), 46, 47, 48, 49, ayat (3) dan 50 ayat (2) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-.
3. Tindak pidana dalam ayat (1) dan (2) pasal ini adalah pelanggaran.
BAB IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 53.
1. Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hakhak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat.
2. Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 54.
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonenesianya mempunyai kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok, telah menyatakan menolak kewarga-negaraan Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarga-negaraan Indonesia saja menurut pasal 21 ayat (1).
Pasal 55.
1. Hak-hak asing yang menurut ketentuan konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak usaha-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
2. Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Pasal 56.
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip
dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 57.
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.
Pasal 58.
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran yang sesuai dengan itu.
KEDUA.
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI.
Pasal I.
1. Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undangundang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga-negara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna-bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), dengan jangka waktu 20 tahun.
4. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dengan hak opstal atau hak erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1, yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut diatas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
5. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau hak erfpahct, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak-hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
6. Hak-hak hypotheek, servituu, vruchtengebruik dan hak-hak lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak gunabangunan tersebut dalam ayat (1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-undang ini.
Pasal II.
1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak-hak tersebut dalam ayat (1) kepunyaan orang asing, warganegara yang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna-usaha atau hak guna-bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.


Pasal III.
1. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak gunausaha tersebut dalam pasal 28 ayat (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
2. Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut hapus, dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Pasal IV.
1. Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria agar haknya diubah menjadi hak guna-usaha.
2. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya. tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
3. Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat (1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak gunabangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
Pasal VI.
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya Undangundang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
Pasal VII.
1. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
2. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
3. Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.
Pasal VIII.
1. Terhadap hak guna-bangunan tersebut pada pasal I ayat (3)dan (4), pasal II ayat (2) dan V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
2. Terhadap hak guna-usaha tersebut pada pasal II ayat (2), pasal III ayat (1) dan (2) pasal IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).
Pasal IX.
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal diatas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
KETIGA.
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.
KEEMPAT.
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada pada. waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A diatas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




KELIMA.
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pokok Agraria dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran- Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 24 September 1960.
Presiden Republik Indonesia,
SUKARNO.
Diundangkan
pada tanggal 24 September 1960.
Sekretaris Negara,
TAMZIL.
MEMORI PENJELASAN ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA.

A. PENJELASAN UMUM.
1. Tujuan Undang-undang Pokok Agraria. Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama :
a. karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendir-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b. karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masa'alah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c. karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang di- maksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya. Sungguhpun undang-undang itu formil tiada bedanya dengan undangundang lainnya yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tetapi mengingat akan sifatnya sebagai peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat didalamnya hanyalah azas- azas serta soal-soal dalam garis besarnya saja dan oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturanperaturan Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya. Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-undang Pokok Agraria ialah :
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b. meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
II. Dasar-dasar dari hukum agraria nasional.
1. Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat 1 , yang menyatakan, bahwa : "Seluruh wilayah In- donesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia" dan pasal 1 ayat 2 yang berbunyi bahwa : "Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional".Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa- sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak sematamata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah didaerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah samata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat me- mutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan. Kiranya dapat ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 yo pasal 20). Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak-pakai, hak sewa, dan hak-hak lainnya yang akan ditetapkan dengan Undang-undang lain (pasal 4 yo 16). Bagaimana kedudukan hak-hak tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan diuraikan dalam nomor 2 dibawah.
2. "Azas domein.. yang dipergunakan sebagai dasar dari- pada perundang-undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru.Azas domein adalah bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada Negara yang merdeka dan modern. Berhubung dengan ini maka azas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai "pernyataan domein", yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarisch Besluit (S.1870-118), S.1875-119a, S.1874- 94f, S.1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut kembali. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwauntukmencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa "Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan "dikuasai" dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada ting- katan yang tertinggi :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.
b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukkum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Segala sesuatunya dengan tujuan : untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal 2 ayat 2 dan 3). Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan" Negara tersebut. Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta pasal-pasal dalam BAB II. Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan diatas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak-guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal mana akan diuraikan lebih lanjut dalam nomor 3 di- bawah ini.
3. Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka didalam pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuankesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa : "Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masya-rakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi". Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana dike- tahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang- Undang, dengan akibat bahwa didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akandiperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan. sebelumnya akan didengar pendapatanya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut didaerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerahdaerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua dari pada ketentuan dari padal 3 tersebut diatas. Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan- akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat- masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara sebagai kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian diatas, ini tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
4. Dasar yang keempat diletakkan dalam pasal 6, yaitu bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial". Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badanhukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang ekonomis lemah.
5. Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal 9 yo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indo-nesia saja yangdapat mempunyai hak milik atas tanah, Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak gunabangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuanketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17). Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma- syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape-clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
6. Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut diatas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2, bahwa : "Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya". Dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warganegara yang lemah terhadap sesama warga-negara yang kuat kedudukan ekonominya. Maka didalam pasal 26 ayat 1 ditentukan, bahwa : "Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah". Ketentuan inilah yang akan merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang dimaksudkan itu. Dalam hubungan itu dapat ditunjuk pula pada ketentuan- ketentuan yang dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agrarian hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban untukmencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2). Bukan saja usaha swasta, tetapi juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak. Oleh karena itu usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang- undang (pasal 13 ayat 3).
7. Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini sedang menjadi dasar daripada perubahan- perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, yaitu dinegara-negara yang telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut "landreform" atau "agrarian reform" yaitu, bahwa "Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktip oleh pemiliknya sendiri". Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya (pasal 13 yo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17), agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak dipekenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain. Dalam pada itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini kiranya sementara waktu yang akan datang masihperlu dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orangorang yang bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, berbagi-hasil, gadai dan lain sebagainya. Tetapi segala sesuatu peraturan-peraturan lainnya, yaitu untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan silemah oleh si-kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri atas dasar "freefight", akan tetapi pe- nguasa akan memberi ketentuanketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan ("exploitation de l- 'homme par l'homme"). Sebagai mitsal dapat dikemukakan ketentuanketentuan didalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang "Perjanjian Bagi Hasil" (L.N. 1960 - 2). Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2). Dalam keadaan susunan msyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya dispensasi. Misalnya seorang pegawai-negeri yang untuk persediaan hari-tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi, misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktip. (ayat 3).
8. Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara tersebut diatas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana ("planning") mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum ("National planning") yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
III. Dasar-Dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaanhukum. Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di-dalam ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
1. Sebagaimana telah diterangkan diatas hukum agraria sekarang ini mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional, serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan masyarakat swapraja yang feodal.
2. Didalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undangundang Pokok Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongangolongan rakyat. Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa : "Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keprluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan". Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota dan rakyat perdesaan, pula rakyat yang ekonominya kuat dan rakyat yang lemah ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
3. Dengan hapusnya perbedaan antara hukum-adat dan hukumbarat dalam bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai, kesederhanaan hukum pada hakekatnya akan terselenggarakan pula. Sebagai yang telah diterangkan diatas, selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, hukum agraria yang baru pada pokoknya mengenal hak-hak atas tanah, menurut hukum adat sebagai yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai dengan g. Adapun untuk memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan) dan hak gunabangunan (guna mendirikan/mempunyai bangunan diatas tanah orang lain) pasal 16 ayat 1 huruf b dan c). Adapun hak-hak yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini semuanya akan dikonvensi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-undang Pokok Agraria.
IV. Dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum. Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah. Pasal 23, 32 dan 38, ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechtskadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya dikota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu. Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi; agar diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat "rechts- kadaster", artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan peralatannya. Oleh karena itu lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilahah Negara. Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama sekali.
B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian..bumi" dan "tanah", sebagai yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan "tanah" ialah permukaan bumi. Perluasan pengertian "bumi" dan "air" dengan ruang angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan ke- mungkinankemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang.
Pasal 2.
Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2). Ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu.
Pasal 3.
Yang dimaksud dengan "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu" ialah apa yang didalam perpustakaan hukum adat disebut "beschikkingsrecht". Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka3).
Pasal 4.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1).
Pasal 5.
Penegasan, bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Pasal 6.
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).
Pasal 7.
Azas yang menegaskan dilarangnya "groot-grondbezit" sebagai yang telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 7). Soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam pasal 17. Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.
Pasal 8.
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenangwewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaankekayaan alam yang terkandung didalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan tersendiri. Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan pertambangan dan lain-lainnya.
Pasal 9.
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Ketentuan dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2.
Pasal 10.
Sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (II angka 7). Kata- kata "pada azasnya" menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualianpengecualian sebagai yang disebutkan sebagai misal didalam Penjelasan Umum itu. Tetapi pengecualian-pengecualian itu perlu diatur didalam peraturan perundangan (Bandingkan penjelasan pasal Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.
Pasal 11.
Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah terhadap yang kuat. Golongan yang ekonomis lemah itu bisa warganegara asli keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III angka 2).
Pasal 12.
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuanketentuan dalam pasal 11 ayat 1. Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk koperasi dan bentuk- bentuk gotongroyong lainnya. Ketentuan dalam ayat 2 memberi kemungkinan diadakannya suatu "usaha bersama" antara Negara dan Swasta dalam bidang agraria. Yang dimaksud dengan "fihak lain" itu ialah pemerintah daerah, pengusaha swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan "domestic capital" yang progresip.
Pasal 13.
Ayat 1, 2 dan 3. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6). Ketentuan dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan dalam bidang agraria.
Pasal 14.
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum ((II angka 4). Tanah wajib dipelihara dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-Jawatan yang bersangkutan.
Pasal 16.
Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna- usaha dan hak-guna-bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuanketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53).
Pasal 17.
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan dari apa yang ditentukan dalam pasal 7. Penetapan,batas luas maksimum akan dilakukan didalam waktu yang singkat dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut diatas pada azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya didalam waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha lain supaya pra bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian yang dimaksudkan itu. Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang- orang yang mempunyai, tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan
tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk mencegah pemecah-belahan ("versplintering") tanah lebih lanjut. Disamping itu akan diadakan usaha-usaha misalnya: transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran diluar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum
tersebut dapat dicapai secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan "keluarga" ialah suami, isteri serta anak-anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya berkisar sekitar 7 orang. Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala keluarga.
Pasal 18.
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak.
Pasal 19.
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat Penjelasan Umum IV).
Pasal 20.
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak milik adalah hk yang "terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu-gugat" sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan terang bertentangan dengan sifat hukum-adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata "terkuat danterpenuh" itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna-usha, hak guna-bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan,bahwa diantara hak- hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang "ter" (artinya : paling)-kuat dan terpenuh.
Pasal 21.
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 5). Dalam ayat 3 hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lainlain cara dilarang oleh pasal 26 ayat 2. Adapun cara- cara yang diserbut dalam ayat ini adalah cara-cara memperoleh hak tanpa melakukan suatu tindakan positip yang sengaja ditujukan pada terjadinya peralihan hak itu. Sudah selayaknyalah kiranya bahwa selama orang-orang warganegara membiarkan diri disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan dri warganegara Indonesia lainnya.

Pasal 22.
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara.
Pasal 23.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 24.
Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentukbentuk hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa, bagi-hasil, pakai atau hak guna-bangunan.
Pasal 25.
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya. Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Didalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai.
Pasal 26.
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6) dengan tujuan untuk melindungi fihak yang ekonomis lemah. Dalam Undang-Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara asli dan tidak asli, tetapi antara yang ekonomis kuat dan lemah. Fihak yang kuat itu bisa warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat memiliki tanah.
Pasal 27.
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
Pasal 28.
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Bedanya dengan hak pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan diatas itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan hak pakai maka hak gunausaha dapat beralih dan dialihkan kepada fihak lain dan dapat dibebani dengan hak tanggunan. Hak guna-usaha pun tidak dapat diberikan kepada orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum yang bermodal asing hanya mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal 55. Untuk mendorong supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan secara yang tidak baik, karena didalam hal yang demikian hak
guna-usahanya dapat dicabut (pasal 34).
Pasal 29.
Menurut sifat dan tujuannya hak guna-usaha adalah hak yang waktu berlakunya terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka-waktu 35 tahun misalnya mengingat pada tanaman kelapasawit.
Pasal 30.
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badanbadan hukum yang bermodal asing hak guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana (pasal 55).
Pasal 31 s/d 34.
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).
Pasal 35.
Berlainan dengan hak guna-usaha maka hak guna-bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang.
Pasal 36.
Penjelasannya sama dengan pasal 30. Pasal 37 s/d 40. Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38 sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum (angka IV). Pasal 41 dan pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi wewenang kepada yang mempunyai sebagai yang disebutkan dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja. Untuk gedung-gedung kedutaan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai, oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu. Orang-orang dan badan- badan hukum asing dapat diberi hak-pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.
Pasal 43.
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 44 dan 45.
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifatsifat khusus maka disebut tersendiri. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara (pasal 16 yo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah, karena Negara bukan pemilik tanah.
Pasal 46.
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hakhak dalam hukum adat yang menyangkut tanah. Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah demi kepentingan umum yang lebih luas daripada kepentingan orang atau masyarakat hukum yang bersangkutan.
Pasal 47.
Hak guna-air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai air yang tidak berada diatas tanah miliknya sendiri. Jika mengenai air yang berada diatas tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada diluar tanah miliknya sendiri maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas tanah. Hak guna-air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air yang berada diluar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya, rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka sering kali air yang diperlukan itu perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.
Pasal 48.
Hak guna-ruang-angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik dewasa ini dan kemungkinan-kemungkinannya dikemudian hari.
Pasal 49.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya dalam hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal 14 ayat 1 hurub b.
Pasal 50 dan 51.
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam undang-undang ini hanya dimuat pokok-pokoknya saja dari hukum agraria yang baru.
Pasal 52.
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-peraturan serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Pokok Agraria maka diperlukan adanya sangsi pidana sebagai yang ditentukan dalam pasal ini.
Pasal 53.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.
Pasal 54.
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26. Seseorang yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan R.R.C. tetapi pada tanggal mulai berlakunya undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan terkena oleh ketentuan konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Hal itu berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan didalam pasal 12 Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh pengesahan dari instansi yang berwenang.
Pasal 55.
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30. Ayat 1 mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk pada modal asing baru. Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 30 pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan oleh undang-undang pembangunan Nasional semesta berencana. Kedua : Hak-hak yang ada sekarang ini menurut ketentuan konversi ini semuanya menjadi hak-hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria. Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III, IV dan V berlangsung dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan yang dimaksud dalam pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan dengan keadaan tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akta haknya yang di- konversi itu, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru. Ketiga : Perubahan susunan pemerintahan desa perlu diadakan untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya dari- pada perombakan hukum agraria menurut Undang-undang ini. Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai peranan yang sangat penting. Keempat : Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak- hak yang masih bersifat feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
__________________________________

laporan pengadilan agama cimahi

BAB I
PENDAHULUAN


A. Dasar Pemikiran
Penyelenggaraan praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama, merupakan salah satu piranti lunak, sebagai bagian dari penyelenggaraan akademik Fakultas Syaria’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Ia mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan tinggi, dan Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Akademik di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Pedoman ini berisi unsur-unsur dan tahapan-tahapan mengenai penyelenggaraan Praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama bagi mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun akademik 2006/2007. Ia menjadi acuan bagi mahasiswa, pembimbing, pengarah, dan penyelenggara praktikum. Ia disusun secara priodik, sehingga memungkinkan untuk dilakukan perubahan-perubahan dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan.

B. Landasan Penyelenggaraan
Landasan penyelenggaraan praktikum keahlian ini adalah:
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 199 tentang Pendidikan Tinggi;
3. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 192 tentang Pembinaan Ilmu Agama Islam;
4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1995 tentang Kurikulum Nasional Program Strata Satu (S1);
5. Keputusan Rektor IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Nomor 20 Tahun 1987 tentang Petunjuk Teknis Praktis Profesi;
6. Hasil Keputusan Rapat Pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 6 Juni 2006 tentang Penyelnggaraan Praktikum Profesi.

C. Maksud Dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari kegiatan praktikum ini adalah:
1. Memberikan pengalaman praktis pada mahasiswa tentang proses peradilan dari mulai penerimaan, pemeriksaan, dan penyelesaian perkara.
2. Memberikan bekal keterampilan bagi mahasiswa dalam pembuatan kelengkapan administrasi peradilan dan seluruh kelengkapan ligitasi yang berhubungan dengan perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama.

D. Penyelenggaraan
Praktikum Pengenalan Administrasi beracara di Pengadilan Agama ini diselenggarakan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung melalui satu tim kepanitian di bawah koordinasi Pembantu Dekan 1 dengan Dekan sebagai penanggung jawab.

E. Waktu Dan Tempat Pelaksanaan
Adapun waktu pelaksanaan praktikum ini direncanakan mulai tanggal 18 Juli sampai dengan tanggal 30 Agustus 2007 dengan rincian waktu sebagaimana terlampir dalam jadwal kegiatan
Sedangkan tempat pelaksanaan praktikum adalah di Pengadilan Agama Cimahi

F. Status Praktikum
Praktikum Pengenalan Administrasi beracara di Pengadilan Agama ini merupakan salah satu kegiatan kurikuler sebagai salah satu syarat kelengkapan untuk mengikuti ujian komprehensif.



G. Bentuk Dan Jenis Kegiatan
Praktikum Pengenalan Administrasi Beracara di Pengadilan Agama ini dilakukan dalam bentuk rangkaian kegiatan pengamatan, latihan kerja, dan penyusunan laporan berkenaan dengan proses beracara di Pengadilan Agama yang meliputi:
1. Membuka persidangan
2. Mendamaikan para pihak
3. Memeriksa para pihak
4. Menghadirkan para pihak
5. Musyawarah majelis hakim
6. Memutus perkara
7. Membuat dan melakukan eksekusi

H. Tahapan Kegiatan
1 Tahap Persidangan
Pada tahapan ini dilakukan kegiatan konsultasi ke lokasi praktikan, rapat-rapat antara pimpinan Fakultas Syari’ah dengan panitia pelaksanaan yang rinciannya adalah:
1. Rapat pimpinan Fakultas Syari’ah dan Hukum
2. Pengangkatan Panita Penyelenggara, Pembimbing, dan Pengarah Praktikum;
3. Pembagian/Pendistribusian mahasiswa praktikan pada masing-masing lokasi praktik;
4. Konsultasi dengan ketua Pengadilan Agama yang dijadikan tempat kegiatan praktikum
5. Pertemuan persiapan penyelenggaraan praktikum antara panitia penyelnggara dengan pembimbing
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahapan ini akan dilaksanakan melalui tahapan sebagai berikut:
a. Pembekalan
Pembekalan dilakukan bagi semua mahasiswa praktikan yang berupa penjelasan mengenai pengamatan, pelaksanaan latihan kerja dilapangan dari Pembantu Dekan 1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang dilaksanakan pada tanggal 11 Juli 2007 Jam 10.00 s.d 11.00 WIB
b. Pengamatan dilapangan
Pengamatan dilapangan dilakukan oleh mahasiswa peserta praktikan dalam bentuk:
1. Pengamatan persidangan di Pengadilan Agama dari mulai membuka persidangan sampai dengan eksekusi;
2. Bimbingan dan supervisi terhadap peserta praktikan selama mengikuti kegiatan praktik;
3. Pemantauan pelaksanaan praktik oleh penyelenggara dan pimpinan Fakultas;
4. Prosentase Kehadiran Peserta ke Pengadilan Agama tempat praktik sebanyak 8 kali (jadwal tahapan kegiatan praktik terlampir)
3. Tahap Laporan
Pada tahap ini dilakukan:
1. Penyusunan laporan kerja oleh mahasiswa praktikan dengan persetujuan pembimbing masing-masing
2. Penyerahan laporan kerja mahasiswa praktikan dengan ketentuan 1 (satu) laporan untuk jurusan,dan 1 (satu) laporan untuk peserta.












BAB II
KONDISI OBJEKTIF DAN TINJAUAN UMUM
PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Sejarah Pengadilan Agama Cimahi
1. Masa Sebelum Penjajahan
Pengadilan Agama di Kabupaten Bandung pada zaman sebelum penjajahan, merupakan sebagai sebuah institusi yang memiliki struktur organisasi yang belum terbentuk, akan tetapi fungsi sebagai sebuah lembaga yang menyelesaikan sengketa diantara pemeluk agama Islam telah terbentuk, yaitu Mesjid sebagai sentra kegiatan¬nya dan para “Ajengan” sebagai tokoh kuncinya.
2. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang
Pengadilan Agama untuk Kabupaten Bandung pada masa pendudukan Belanda, tepatnya pada tahun 1882 telah terbentuk dengan sebutan raad agama, dengan “kantornya” di Mesjid Agung Bandung (kaum), dengan wilayah hukum meliputi kabupaten Bandung dan burgemeester (kota) Bandung. Dasar pembentukan Pengadilan Agama (raad agama) untuk wilayah hukum Kabu¬paten Bandung (dan Indonesia pada umumnya), adalah dalam stbld 1882 pasal 1, disebutkan bahwa “pada tempat yang ada landraad di tanah Jawa dan Madura didirikan raad agama yang sama jajahanya dengan landraad itu”. Diantara ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bandung (hoofd penghulu president raad agama) yang terkenal dan dan namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Kota Bandung adalah Penghulu H. Hasan Mustopa.
Setalah pendudukan Belanda berakhir, dan digantikan oleh Jepang, dalam sis-tem pemerintahan tidak banyak mengalami perubahan yang berarti, termasuk dalam bidang hukum (peradilan).
3. Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, hal yang menyangkut hukum, diberlakukan aturan selama belum diatur hukum yang baru masih tetap berlaku hukum yang lama. Demikian pula dengan keberadaan Pengadilan Agama di Kabupaten Bandung, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Baru pada tahun 1967, dengan Keputusan Menteri Agama RI nomor 28 Tahun 1967 tanggal 15 Maret 1967 dibentuklah Pengadilan Agama Kabupaten Bandung di Cimahi, sebagai Ca-bang Pengadilan Agama Bandung di Cimahi, dengan wilayah hukum meliputi wilayah Kabupaten Bandung. Akan tetapi Keputusan Menteri Agama tersebut baru direalisasikan pada bulan Desember 1967, dengan dilantiknya KH. Moh Syarif Ishak (Gol II/c), mantan hakim pada Pengadilan Agama Bandung, se¬bagai Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Bandung yang pertama.
Meskipun struktur organisasi Pengadilan Agama Kabupaten Bandung telah ter¬bentuk, ia belum memiliki Balai Sidang. Maka ditunjuk PT. FARMAJA (pimpi¬nan Hj. SUHAELI) sebagai pemborong pembangunan tersebut. Namun sebe¬lum gedung Balai Sidang yang baru terbentuk, oleh PT. FARMAJA diberikan pinjamana gedung ukuran 5 x 5 m, terletak di sebelah Apotik Budi Jalan Raya Tagog. Kantor sementara tersebut bercampur dengan onderdil mobil.
Komposisi karyawan Pengadilan Agama Kabupaten Bandung ketika itu berjum¬lah 13 orang, sebagai berikut :
NO NAMA GOL PENDIDIKAN JABATAN
1 KH. MOH SYARIF ISHAK II/c Pesantren Ketua
2 HIDAYAT RIFA’I, BA II/c Sarmud UNU Wakil Ketua
3 RA. ATENG JAM’AN II/a SMA Panitera Kepala
4 RA. MA’MUN II/b SMA Ka Kep. Perkara
5 SOMANTRI, BE II/a SM UNPAD Panitera Sidang
6 EYO SUKARYA I/c SMA Panitera Sidang
7 SUPARNO I/b SMP Panitera Sidang
8 IMUN RUKMANA I/d SMP Kuangan/Gaji
9 ADJI SUTARJA I/c SMP Staff
10 DAROSIH I/c SMP Staff
11 U.DAHRODJAT I/c SMP Staff
12 IDAR I/a SD Staff
13 KOMARA I/a SD Staff
Setahun kemudian, oleh Bupati Bandung (ketika itu Kolonel Masturi), Pengadilan Agama Cimahi (Kabupaten Bandung) diberikan sebidang tanah terletak di Jalan Raya Gatot Subroto, bersebelahan dengan Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Islam, sekarang Salon/rumah makan. Akan tetapi dikarenakan ada ruangan yang kosong di Kantor Inspeksi Pendidikan Agama Islam tersebut, maka ruangan itulah yang difungsikan sebagai balai sidang, bahkan hingga tiga tahun berjalan di tempat tersebut, tanah yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung belum dibangun.
4. Belakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang diberlakukan tanggal 1 Oktober 1975, Kantor Pengadilan Agama Cimahi pindah ke Jalan Cihanjuang, dengan menyewa sebuah paviliun rumah lantai 2 sebelah Hotel Chandra. Ukuran Balai Sidang di tempat yang baru ini cukup apabila diban-dingkan dengan dua tempat sebelumnya.
Pimpinan Pengadilan Agama pada masa berlakunya UU No 1 Tahun 1974 dijabat oleh KH. Hidayat Rifa’i, BA dan Panitera Kepala dijabat oleh RA. Ateng Jam’an. Penggunaan Balai Sidang Pengadilan Agama Cimahi di Jalan Cihan¬juang ini berlangsung selama ± 4 tahun, kemudian pada tahun 1978, pada masa kememimpinan Drs. KH. Hidayat Rifa’i dan Panitera Kepala Adji Sutardja, Sm.Hk, Kantor dipindahkan ke Jalan Terusan No. 38 Cimahi.
Pembangunan BSPA Cimahi di Jalan Terusan No 38 Cimahi didirikan di atas tanah dengan hak sewa seluas 510 m2 berdasarkan SK Gubernur KDH Dati I Jawa Barat Nomor 556/Pm.130/SK/1976. Luas bangunan (pertama) 225 m2, pembangunan tersebut dilaksanakan oleh CV. RAMA melalui anggaran DIP Departemen Agama tahun 1976/1977, dengan biaya sebesar Rp. 7.100.000.
Jumlah perkara masuk pada periode ini sebanyak 300 perkara per bulan, atau ± 3600 perkara pertahun. Dominasi perkara masuk ke Pengadilan Agama Cimahi secara berturut-turut adalah perkara Izin Ikrar Thalak, Pegesahan Nikah.
5. Masa Berlakunya Undang-Undang No 7 Tahun 1989
Ketika diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama Cimahi dibawah pimpinan Drs. H. Mahyudin Ramli (1989-1995). Kemudian secara berturut-turut Ketua Pengadila Agama Cimahi pada periode in adalah : Drs. H.P. Soetopo, SH, M.Hum (1995-1998), Drs. H. Nurcholis, Sy. SH (1998-2001), Drs. H. Yahya Khaerudin, SH (2001-2002) dan Drs. H. Zurrihan Ahmad, SH, MH.
Pada periode ini terjadi perkembangan yang cukup signifikan, diantaranya :
a) Jumlah perkara yang masuk, semula berjumlah 300 perkara per bulan, menjadi kurang dari 100 perkara per bulan. Hal ini berlangsung hingga tahun 1999. Kemudian pada tahun 1999 sampai dengan sekarang terjadi pening¬katan jumlah perkara masuk hingga mencapai angka 150 – 200 perkara;
b) Terjadinya kasus pemalsuan akta cerai;
c) Terbitnya KMA Nomor : 73 Tahun 1993 tanggal 9 Maret 1993 jo KMA 589 tahun 1999 tentang Penetapan Kelas Pengadilan Agama, ditetapkan bahwa Pengadian Agama Cimahi adalah Pengadilan Agama Kelas I.A;
d) Terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Cimahi sebagai Pemerintahan Kota (otonom);
e) Sejak terbitnya UU No 9 Tahun 2001 Pengadilan Agama Cimahi mewilayahi dua wilayah pemerintahan, yakni Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi;
f) Dibangunnya kantor Pengadilan Agama Cimahi di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung Soreang;
6. Masa berlakunya Undang-Undang No 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, lahir sebagai pengejawantahan revormasi dalam tata hukum di Indonesia yang menghendaki pemisahan secara jelas antara eksekutif dan yudikatif. Undang-undang ini membidani penyatu-atapan empat badan peradilan ke dalam struktur Mahkamah Agung RI. Untuk Peradilan Agama penyerahan dari Departemen Teknis (DEPAG RI) dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2004. Sehingga setelah tanggal tersebut secara teknis yustisial, finansial dan administrasi, peradilan agama telah berada dalam struktur Mahkamah Agung RI.
Ketika momentum itu terjadi Pengadilan Agama Cimahi, di bawah pimpinan Drs. H. Sam’un Abduh, SQ, seorang wakil Ketua , karena formasi ketua belum terisi. Bagi Pengadilan Agama Cimahi, bersamaan dengan momentum bersejarah tersebut, tercatat perkembangan yang penting, diantaranya :
a) Selesainya pembangunan Balai Sidang Pengadilan Agama Cimahi yang representaif di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung di Soreang;
b) Pelayanan hukum terhadap masyarakat pencari keadilan telah menggunakan komputerisasi, yang berbasis pada komputer lokal area network. Komputerisasi ini dikenal dengan nama sistem informasi administrasi perkara peradilan agama (SISDIPA). Dengan aplikasi SISDIPA ini pelayanan berperkara disajikan secara lebih baik (better), lebih cepat (faster), lebih sederhana (more simple) dan lebih akurat.

B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cimahi
Visi Pengadilan Agama Cimahi adalah Terwujudnya citra dan wibawa serta kemadirian Pengadilan Agama dalam melaksankan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan peradilan lainnya, bermartabat dan dihormati demi tegaknya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum di tengan masyarakat yang religius menuju terlaksananya syari’at Islam secara efektif.
Sedangkan Misi Pengadilan Agama Cimahi adalah Optimalisasi peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai peradilan negera agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap mayarakat melalui putusan yang mencitraka asas keadilan, kepastian hukum dan manfaat;
Menghadirkan Pengadilan Agama sebagai institusi negara yang keberadaannya diterima sebagai milik masyarakat, melalui pelayanan hukum aparatur yang berkualitas dalam penyelenggaaan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan

C. Tujuan Pengadilan Agama Cimahi
Pengadilan Agama secara historis merupakan institusi peradilan tertua di Indonesia. Dalam menapaki sejarahnyam ia telah berinteraksi dengan beragam kondisi sosio politik dankultural. Dari peradilan srambi hingga satu atap dalam srtuktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dari “hakim bersarung” hingga peradilan yang ber court of law.
Tujuan pokok Pengadilan Agama Cimahi, Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 jo UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama menyatakan bahwa “ Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di Bidang: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah wakaf, shadaqah dan ekonomi syariah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
adapun jenis perkara yang di selesaikan di Pengadilan Agama Cimahi dalam bidang perkawinan diantaranya adalah:
a. Izin beristri lebih dari seorang
b. Izin melangsungka perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. Dispensasi kawin;
d. Pencegahan perkawinan;
e. Penolakan perkawinanan oleh pegawai pencatat nikah;
f. Pembatalan erkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri
h. Perceraian karena talak
i. Gugatan perceraian;
j. Penyelesaian harta bersama;
k. Megenai penguasaan anak-anak;
l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p. Pencabutan kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebgai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali di cabut;
r. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 8 tahun (delapan belas tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuannya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya;
t. Penetapan asal usul seorang anak
u. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain.








D. Lokasi dan Letak Geografis
1. Peta Wilayah Hukum Pengadilan Agama Cimahi










2. Letak Pengadilan Agama Cimahi
A. Gedung Lama
a) Gedung Pengadilan Agama Cimahi terletak dijalan Terusan nomor 38 kota Cimahi telpon (022) 6654444 kode pos 40525.
b) Lokasi/tanah tempat berdirinya gedung Pengadilan Agama Cimahi adalah merupa¬kan tanah milik Kel. Cimahi seluas 510 M2 dengan hak sewa berdasarkan SK. Gubernur DT. I Jawa Barat No. 556/pm/130/SK/176 Tgl. 16 Desember 1976
c) Pelaksanaan pembangunan gedung dari mulai pembentu¬kan sampai dengan sekarang (mutasi/perubahan) adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan pertama tahun 1976 seluas 225 M2, dengan sumber dana dari APBN tahun 1976/1977 sebesar Rp. 7.100.000 dan dilaksanakan oleh CV Rama.
- Pembangunan Ruang Tata Usaha dan R. Hakim tahun 1980 seluas 50 M2, dengan sumber dana Swadaya BADK I 1980 sebesar Rp. 600.000,-
2. Pembangunan Ruang Kepaniteraan Perkara, Mushola dan R. Sidang seluas 100 M2, dengan sumber dana dari DIP tahun 1982/1983 sebesar Rp. 11.000.000,-
3. Pembangunan lantai dua (di atas R. tunggu) untuk Ruang Hakim seluas 40 M2, dengan sumber dana dari DIP/SKU TA. 2000 sebesar Rp. 29.988.000,-
Sehingga luas bangunan seluruhnya 415 M2
d) Rehabilitasi gedung dilaksanakan pada tahun 1993 berdasarkan DIP 1993/¬1994 No. 040/XXV/3/-/93 Tanggal 17 Maret 1993 sebesar Rp. 70.317.000,- dan dilaksana¬kan oleh CV PRAMANIK.
e) Pembangunan kantor Pengadilan Agama Cimahi di komplek perkantoran Pemerintah Kabupaten Bandung Soreang dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama tahun 2001, tahap kedua tahun 2002 dan tahap ketiga (ter¬akhir) tahun 2003 dan diperhitungkan dapat ditempati pada awal tahun 2004.
B. Gedung Baru
a) BSPA Kabupaten Bandung di Komplek Pemda Kabupaten Bandung, Desa Pamekaran, Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat.
b) Status Tanah tempat berdirinya BSPA baru adalah Hak Guna Pakai, sebagaimana surat Bupati Bandung Nomor : 593/1489/huk tanggal 23 Juli 1999 perihal Penggunaan Tanah Asset Pemerintah Kabupaten Daerah Tk II Bandung Untuk Pemba¬ngunan Pengadilan Agama Kelas I.A Cmahi, jo. surat Sekretaris Daerah pemerintah Kabupaten Bandung Nomor 593/1252/Huk perihal Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kantor Pengadilan Agama Kelas I.A Cimahi
c) Pelaksanaan pembangunan BSPA Cimahi di soreang seluas 600 m2 (dua lantai) dilaksanakan dalam tiga tahap.
1) Tahap Pertama, dilaksanakan pada Tahun 2001, berupa pengerjaan struktur lantai I, pemasangan dinding keliling 300 m2 dan pegecoran dak lantai II;
2) Tahap kedua, dilaksankan pada tahun 2002, pembangunan tahap kedua ini meliputi pengerjaan struktur lantai II, dinding keliling seluas 300 m2 dan pembuatan atap dengan kontruksi rangka beton. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan tahap kedua ini sebesar Rp. 300.000.000,- yang bersumber dar APBN tahun 2002;
3) Tahap ketiga, dilaksanakan pada tahun 2003, yang merupakan tahap finishing. Alokasi dana untuk tahap ini adalah sebesar Rp. 332.400.000, yang bersumber dari APBN
4) Pada tahun 2004, setelah Bangunan diserahterimakan dari Pimbagpro kepada Pengguna (Pengadilan Agama Cimahi), Pengadilan Agama Cimahi secara swakelola dan swadana membangun ruang tunggu seluas 40 m2. Ruang tunggu ini telah selesai pada bulan Juni 2004.
C. Gedung Tempat Sidang
Pengadilan Agama Cimahi belum mempunyai Balai Sidang diluar Kantor untuk kepentingan sidang keliling, meski kegiatan ini selalu menjadi agenda setiap tahun yang tertuang dalam program kerja.
Penyelenggaraan sidang keliling disamping dilaksanakan sesuai program, juga terjadi secara “insidentil” ketika masyarakat mengajukan permohonan dengan pertimbangan “dharurat” dan effisiensi. Balai sidang yang digunakan pada kegiatan sidang keliling adalah fasilitas publik yang dipandang cukup representatif, seperti balai desa, madrasah, balai nikah pada Kantor Urusan Agama serta fasilitas publik lainnya.



BAB III
PENERAPAN DAN PELAKSANAAN BINDALMIN KEPANITERAAN DI PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Pola Prosedur Penyelenggaraan Administrasi Perkara di Pengadilan Agama Cimahi
1. Administrasi Perkara Pengadilan Agama
Tertib perkara administrasi merupakan bagian dari court of law yang mutlak harus dilaksanakan oleh samua aparat Pengadilan Agama dalam rangka mewujudkan peradilan yang mandiri sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Hal ini dapat terlaksana apabila aparat peradilan Agama memahami pengertian administrasi secara luas adapun yang dimaksud dengan administrasi adalah suatu proses penyelenggaraan oleh seorang Administratur secara teratur dan diatur guna melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk mencapai tujuan pokok yang telah ditetapkan semula. Adapun yang dimaksud dengan proses adalah kegiatan yang dilaksanakan secara beruntun dan susul menyusul, artinya selesai yang satu harus diikuti dengan dengan pekerjaan yang lain sampai titik akhir. Proses itu sendiri meliputi 6 hal yaitu: menghimpun, mencatat, mengolah, menggandakan, mgnirim, dan menyimpan.
Tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 1978 pasal 2 yaitu: menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah panitera, sebagaimana tersebut dalam pasal 26 UU No. 7 Tahun 1989. panitera sebagai pelaksana kegiatan Administrasi Pengadilan memiliki 3 macam tugas:
1) Pelaksanaan Administrasi Perkara
2) Pendamping hakim dalam persidangan
3) Pelaksana putusan/penetapan pengadilan dan tugas-tugas kejurusitaan lainnya.
Sebagai pelaksana administrasi perkara panitera berkewajiban utnuk melaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 99 UU No 7 Tahun 1989 yaitu membuat daftar semua perkara yang diterima kepaniteraan sertamemberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya. Adapun tanggung jawab panitera adalah sebagaimana dalam pasal 101 UU No 7 Tahun 1989 yaitu bertanggung jawab atas pengurusan perkara, uang titipan pihak ketiga, surat-surat berharga, barang-barang bukti, dan surat-surat lain yang disimpan di kepaiteraan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pengadilan, panitera menerima perkara yang diajukan kepada Pengadilan Agama untuk diproses lebih lanjut. Prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama melalui beberapa meja yaitu:
a. Meja pertama bertugas :
1) Menerima gugatan, permohonan, perlawanan (verzet), pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali, eksekusi penjelasan dan penaksiran biaya perkara dan biaya eksekusi.
2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan menyerahkan SKUM tersebut kepada calon penggugat/ pemohon.
3) Menyerahkan kembali surat gugatan/permohonan kepada calon penggugat
4) Menaksir biaya perkara sebagaimana ditetapkan dalam pasal 121 HIR/145 Rbg yang kemudian dinyatakan dalam SKUM.
5) Penerimaan perkara perlawanan (verzet) hendaknya dibedakan antara perlawanan verzet terhadap putusan verstek dengan perlawanan pihak ketiga (Darden Verzet).
6) Memberi penjelasan-penjelasan yang dianggap perlu yang berhubungan dengan perkara.
b. Kas, bertugas:
1) Pemegang kas merupakan bagian dari meja pertama
2) Pemegang kas menerima pembayaran uang panjar perkara sebagaimana tersebut dalam SKUM dan dimasukan dalam buku jurnal.
3) Seluruh kegiatan pengeluaran perkara harus melalui pemegang kas dan dicatat secara tertib dalam buku induk yang bersangkutan
4) Pada saat penerimaan panjar perkara, pemegang kas pada saat itu harus mengeluarkan biaya pencatatan sebesar Rp 2000, yang merupakan biaya kepnitraan yang nantinya akan disetorkan kepada kas Negara oleh bendahara penerima dari bagian secretariat dan hendaknya penyetor tersebut dilakukan setidaknya seminggu sekali.
5) Semua pengeluaran uang perkara harus melalui pemegang kas, dan pemegang kas wajib mencatat dengan tertib segala kegiatan pengeluaran uang tersebut dalam buku jurnal yang bersangkutan.
6) Untuk pengeluaran biaya materai dan redaksi dicatat dalam buku jurnal sesuai dengan tanggal diputusnya perkara tersebut.
7) Pemegang kas mendatangani SKUM dalam surat gugat/permohonan.
8) Mengembalikan asli serta tindakan pertama SKUM beserta surat gugat/ permohonan kepada calon penggugat/pemohonan.
9) Khusus bagi pengadilan tinggi agama, penerimaan baiay perkara banding dari Pengadilan Agama harus dilaksanakan serentak bersama-sama, artinya apabila berkas perkara atau panjar baiay perkara banding salah satu diterima lebih dulu oleh PTA maka harus dibukukan sendiri dalam buku Bantu.
c. Meja II betugas sebagai:
1) Menerima surat gugat/perlawanan dari calon penggugat/ pelawan dalam rangkap sebanyak jumlah tergugat/terlawan ditambah dua rangkap.
2) Menerima surat pemohon dari calon pemohon sekurang-kurangnya dua rangkap
3) Menerima surat tindakan pertama SKUM dari colon penggugat/ perlawan pemohon.
4) Mendaftar atau mencatat surat gugatan/ pemohon dalam register yang bersangkutan serta memberi nomor register pada surat gugatan/ permohonan tersebut.
5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat gugatan/permohonan yang telah diberi nomor register kepada penggugat/ pemohon.
6) Asli surat gugat/ permohonan dimasukan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindakan pertama SKUM dan surat yang berhubungan dengan gugatan/permohonan, disampaikan kepda wakil panitera, untuk selanjutnya berkas gugatan/ permohonan tersebut disampaikan kepada ketua PA melalui panitera.
7) Mendaftar/mencatat putusan PA / PTA / MA dalam semua buku register yang bersangkutan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Sub kepaniteraan permohonan/gigitan mempelajari kelengkapan persyaratan dan mencatat semua data-data perkara yang baru diterimanya dalambuku penerimaan tentang perkara, kemudian menyampaikannya kepada panitera dengan melampirkan semua formulir-formulir yang berhubungan dengna pemeriksaan perkara.
b. Sebelum berkas tersebut disampaikan ke ketua PA terlebih dahulu ketua PA menyuruh petugas yang bersangkutan untuk mencatatnya dalam buku register perkara yang nomornya telah diambil dari SKUM.
c. Selambat-lambatnya pada hari kedua surat gugat diterima dibagian kepaniteraan, panitera harus sudah menyampaikan kepada ketua Pengadilan Agama yang selanjutnya dicatat dalam buku ekspeidsi yang ada padanya dan dipelajarinya yang kemudian disampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada panitera yang disertai penetapan Penunjukan Majelis Hakim (PMH) yang harus dilakukannya dalamwaktu selambat-lambatnya 10 hari sejak gugatan/permohonan di daftarkan.
d. Panitera penunjuk seorang atau lebih panitera penggani untuk diperbantukan kepada majelis atau hakim yang bersangkutan.
e. Setelah majelis atau hakim menerima berkas-berkas dari ketua atau wakil ketua, maka ketua majelis / hakim harus membuat penetapan hasil sidang (PHS)
d. Meja III bertugas sebagai:
1) Menyerahkan salinan putusan PA/PTA/MA kepada yang berkepentingan.
2) Menyerahkan salinan penetapan PA kepada pihak yang berkepentingan.
3) Menerima memori atau kontra memori banding, memori atau memori / memori kasasi / jawaban / tanggapan peninjauan kembali dan lain-lain.
4) Menyusun atau menjahit atau mempersiapkan arsip.
5) Khusus bagi PTA Meja III berfungsi:
a. Menyerahkan penetapan arsip perkara atau dokumen sesuai dengan predeo tetap atau protop
b. Mempersiapkan data-data perkiraan dan pembuatan laporan statistik.
2. Administrasi Perkara Banding
Bagi pihak yang merasa belum puas dengan putusan Pengadilan Agama dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Tinggi Agama yang memutuskan perkara batas.
Waktu pengajuan banding adalah 14 hari setelah putusan Pengadilan Agama diumumkan atau diberi tahukan secara sah kepada para pihak yang tidak hadir ketika putusan itu diucapkan.
Permohonan banding yang telah memenuhi syarat administrasi harus pula dibuat akta permohonan banding. Dalam hal ini permohonan banding itu harus melewati batas waktu yang ditentukan oleh Undang-undang, panitera harus membuat surat keterangan.
Dalam waktu 7 hari permohonan banding diterima, kepada pihak lawan harus diberitahukan adanya permohonan banding itu, yang dinyatakan dengan akta pemberitahuan permohonan banding. Dalam hal diterimanya memori banding atau kontak memori banding harus dicatat tanggal penerimaanya, dan selanjutnya salinannya disampaikan kepada pihak lawanannya masing-masing yang dinyatakan dengan akta penyerahan atau pemberitahuan memori/kontra memori banding.
Dalam waktu satu bulan sejak permohonan banding diterima, berkas perkara bandingnya harus sudah dikirim ke PTA. Berkas perkara banding yang dikirim melalui pos, dikirim dengan pos tercatat sedangkan yang diantar lansung ke PTA harus disampaikan dengan ekspedisi/tanda bukti penerimaan untuk menghindari hilangnya berkas perkara.
Biaya pemeriksaan perkara banding ke PTA harus disampaikan melalui bank pemerintah atau wesel pos bersamaan dengan pengiriman berkas perkara. Berkas perkara banding yang dikirim ke PTA harus dijilid atau disusun dengan baik, dalam bentuk dan ukuran bendel A dan bendel B
3. Administrasi Perkara Kasasi
Kasasi adalah pembatalan putusan hakim. Hal tersebut merupakan salah sastu tindakan MA sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan lainnya.
Alasan hukum yang digunakan dalam permohonan kasasi sebagaimana tersebut dalam pasal 130 UU No 14 Tahun 1985 tentang MA yaitu:
1) Karena pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh per UU
2) Karena pengadilan melampaui batas-batas kewenangannya
3) Karena pangadilan salah dalam menerapkan hukum.
Para pihak setelah menerima tingkat banding, diberi kesempatan 14 hari untuk menyatakan kasasi ke mahkamah agung melalui panitera Pengadilan Agama. Apabila diantara pihak akan menyatakan kasasi, maka kepada pemohon kasasi membayar biaya sebesar Rp 50.000,00 sesuai dengan putusan MA RI No: KMA/017/SK/IV/992 tanggal 10 juni 1992.
Panitera yang menangani perkara kasasi, baru menerima perkara tersebut apabila masih dalam tanggal waktu 14 hari dan telah melunasi biaya perkara kasasi. Selanjutnya panitera memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan selambat-lambatnya selama 7 hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut.
Pihak permohonan kasasi membuat memori kasasi sebanyak 3 rangkap dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan kasasi dicatat dan didaftarkan. Panitera membuat tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari dengan membuat tanda terima penyerahan.
Pihak lawan diberi kesempatan untuk menjawab atau membuat jawaban (kontrak memori kasasi) dalam waktu 14 hari sejak diterimanya memori kasasi tersebut. Panitera menerima kontra memori kasasi dengan bukti tanda terima. Selanjutnya panitera mengirimkan berkas permohonan kasasi ke MA selambat-lambatnya 30 hari. Adapun berkas-berkas yang dikirim tersebut terdiri dari bendel A dan bendel B.
4. Administrasi Perkara Peninjauan Kembali
Permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap hanya dapat diajukan ke MA RI berdasarkan yang telah diatur dalam pasal 67 UU No 14 tahun 1985 sebagai berikut:
a) Apabila putusan didasarkan atas suatu kebohongan atau tipu muslihat dari pihak lawan yang diketahui setalah perkara diputus atau ada keterangan saksi atau surat-surat yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b) Apabila setelah di putus, diterima surat-surat bukti yang bersifat menentikan, yang waktu perkara di periksa tidak ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak di tuntut atau lebih yang dituntut.
d) Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e) Apabila antara pihak-pihak yang sama, yang sama atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama, atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan yang lainnya.
Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasai untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal dunia permohonan tersebut dapat dilakukan oleh ahli warisnya.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali saja. Penetapan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak diketemukan bukti-bukti baru atau bukti-bukti adanya penipuan.
Panitera wajib selambat-lambatnya dalam 14 hari memberitahukan tentang permohonan peninjauan kembali kepada pihak lawan dengan memberikan atau mengirimkan salinan permohonan peninjauan kembali serta alasan-alasannya kepada pihak lawan. Pihak lawan dapat mengajukan jawabannya dalam tenggang waktu 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan tersebut.
Setelah jawaban diterima oleh Pengadilan Agama panitera wajib membubuhi cap, tanggal, hari diterimanya jawaban peninjauan kembali tersebut atas surat jawaban.
Berkas perkara peninjauan kembali dan bukti pembayran biaya oleh panitera dikirimkan kepada MA dalam waktu 30 hari. Berkas perkara peninjauan kembali yang disampaikan ke MA RI dijilid dan disusun dengan baik dalam bandel A dan bandel B.
5. Tentang Pelaporan Perkara diPengadilan Agama Cimahi
Laporan mengenai perkara yang berjalan diPengadilan Agama meliputi keadaan perkara, kegiatan kehakiman keadaan perkara yang dimohonkan banding kasasi dan peninjauan kembali perkara eksekusi dan juga tentang keuangan perkara fungsi dari perkara ini antara lain:
1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman (pasal 32 ayat 1 UU No 14 tahun 1985)
2) Pengawasan atas tingkah laku dan perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya. (pasal 32 ayat 2 UU No 14 Tahun 1985)
3) Pengawasan atas penasehat hukum dan notaris. (pasal 36 ayat 2 UU No 14 Tahun 1985)
4) Sebagai badan untuk mengetahui kemajuan yang terjadi dan dapat dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan berikutnya.
a. Adapun fungsi laporan-laporan yang dibuat oleh Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
a. Sebagai alat pantau segala tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan oleh MA dan PTA sebagai kawal depan dari MA RI
b. Sebagai bahan untuk meneliti kebenaran dari evaluai yang dibutuhkan oleh PA dan PTA sebagaimana yang ditentukan dalam surat keputusan MA No KMA/009/SK/II/1988.
c. Sebagai bahan dasar bagi MA RI untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PTA dan sebagai bahan dasar bagi PTA untuk mengevaluasi hasil pengawasan yang dilakukan oleh PA.
d. Sebagai bahan dari kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, sehingga didalam mengambil keputusan dalam rangka pembinaan lebih lanjut dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana.
6. Tentang Kearsipan Perkara Di Pengadilan Agama Cimahi
Penyelenggaraan arsip di Pengadilan Agama dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
1. Memisahkan berkas perkara yang masih berjalan dengan arsip berkas perkara
2. Berkas perkara yang masih berjalan dikelola oleh kepaniteraan, gugatan/permohonan dengan cara disimpan dalam box atau sampul yang dikumpulkan diatas rak lemari secara vertikal dan horizontal masing-masing box diberi nomor urut, tahun perkara, jenis perkara, dan nomor urut perkara.
3. Membuat daftar isi dalam kertas tersendiri yang ditempatkan disisi kiri box.
Arsip yang telah tertata rapi bisa digunakan lagi seperti oleh hakim, jaksa, polisi, dosen, mahasiswa atau masyarakat umum yang memerlukan arsip yang hendak dihapus atau dibuang hendaknya dibentuk panitia penghapusan dan dibuatkan dalam berita acara terhadap berkas-berkas perkara yang dihapus.
7. Tentang Registrasi Perkara di Pengadilan Agama Cimahi
Register artinya buku daftar yang memuat secara lengkap dan terperinci mengenai suatu hal atau pokok perkara, tentang register perkara dalam surat Edaran Mahkamah Agung RI No KMA/001/SK/1991 tanggal 14 Januari 1991 maka akan mudah diketahui fungsi-fungsi dari register perkara ini, yaitu:
1. Uraian tentang keadaan perkara sejak semula mulai didaftarkan sampai dengan diputus dan sampai putusan dilaksanakan.
2. Gambaran tentang kegiatan hakim dan panitera yang pada akhirnya dapat diketahui data-data pribadi yang jelas dan ini dapat dipergunakan sebagai penilaian dalam hal mutasi para hakim dan panitera.
3. Gambaran tentang formasi hakim dan panitera sehingga dapat diketahui kebutahan tenaga hakim dan panitera yang harus dipenuhi pada setiap Pengadilan Agama.
4. Menghindari diri dari sikap ragu-ragu terhadap data-data dan pusat informasi.
5. Sebagai mentoring terhadap hilangnya berkas perkara.
Karena fungsi register perkara diatas bernilai yuridis dan membuktikannya sebagai akta otentik, maka dalam mengisi register harus dilakukan dengan hati-hati, benar dan seksama serta tidak ada coretan yang dapat mengganggu nilai yuridis register perkara.



















BAB IV
PROSES PENYELENGGARAAN PERKARA
DI PENGADILAN AGAMA CIMAHI


A. Penerimaan Perkara
Para pencari keadilan dalam memasukan gugatan/permohonan ke Pengadilan Agama, pertama gugatan/permohonan tersebut disampaikan kepada petugas meja pertama selanjutnya petugs memeriksa gugatan/permohonan tersebut, apakah formulasinya telah sesuai dengan ketetnutan yang berlaku atau tidak dilengkapi identitas-identitas para pihak dan kebenarnnya perkara tersebut merupakan kewenangan peradilan agama atau bukan posita yang dijadikan sebgai dasar gugatan/permohonan.
Para pencari keadilan dalam memasukan gugatan/permohonan ke Pengadilan Agama, pertama gugtan/permohonan tersebut disampaikan kepda petugas meja pertama selanjutnya petugas memeriksa gugatan/permohonan tersebut, apakah formulasinya telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak kelengkapan identitas pihak-pihak dan kebenarannya perkara tersebut merupakan kewenang peradilan agama tau bukan posita yang dijadikan sebagai dasar gugatan/permohonan.
Setelah gugatan/permohanan ditandatangi dan diterima oleh petugas meja pertama maka petugas akan menaksir biaya-biaya perkara yang harus dibayar oelh calon pemohon sebagai vorscot biaya perkara, diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) dalam rangkap tiga. Selanjutnya, surat gugatan/permohonan dibawa kepada petugas bendahara untuk membayar baiay tersebut. Calon penggugat/pemohon menerima asli serta tindasan pertama SKUM kepada calon penggugat/pemohon setelah dibubuhi cap/tanda lunas.
Gugatan setalah dibayar biaya perkaranya diserahkan kepada petugas meja II sebanyak (2) rangkap serta tindasan pertama SKUM.
Petugas meja II agar mencatat surat gugatan/permohonan dalam regiser yang bersangkutan serta memberikan nomor register pada surat gugatan terebut. Tindasan surat gugatan tersbut diserahkan kembali kepada penggugat/pemohon.
Asli surat gugatan/permohonan dimasukandalamsebutah map khusus dengan melampirakan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan gugatan/permohonan selanjutnya petugas meja II menyampaikan kepada wkil panitera untuk dieruskan kepada ketua Pengadilan Agama melalui panitera paling lama 7 hari.

B. Ketentuan Penanganan Perkara Oleh Majelis Hakim
Setalah menerima berkas perkara, majelis hakim harus mempelajari berkas perkara tersebut dan segera mengadakan musyawarah. Selanjutnya 7 hari setelah lambat 30 hari dihitung dari sejak tanggal pendaftaran gugatan/permohonan. Penetanan hasil sidang (PHS) yang dibikin sedikitnya 2 rangkap ditandatangani oleh ketua majelis yang selanjutnya panitera pengganti menyerahkan PHS dan gugatan tersebut kepada panitera/juru sita untuk dilakukan pemanggilan kepada para pihak.
a. Ketentuan dalam persidangan
Sidang pengadilan harus dilaksanakan diruang sidang, khusus perkara perceraian “pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum, sedangkan sidang terbuka untuk umum dilakukan dalam hal-hal selainnya antara lain sebagai berikut:
1) Pemeriksaan relas panggilan
2) Pemeriksaan identitas para pihak
3) Upaya mendamaikan pihak-pihak
4) Pengunduran/penundaan sidang
5) Pembacaan putusan/penetapan sela
6) Pembacaan putusan/penetapan
b. Waktu dalam persidangan
Meskipun penetapan lamanya waktu bersidang dalam setiap berita acara persidangan (BAP) di Pengadilan Agama tidak ditentukan secara pasti, namun setelah kami mengamati jalannya persidangan diPengadilan Agama Cimahi bahwa majlis hakim dapat menyelesaikan setiap acara persidangan rata-rata selama 10 s/d 15 menit, dengan demikian majelis hakim dapat menyelesaikan beberapa kasus/perkara dalam satu hari persidangan. Dengan kata lain dalam setiap perkara yang masuk kepengadilan itu da pat diselesaikan pada hari dan waktu itu juga. Tetapi majelis hakim dalam menyhelesaikan perkaranya dilakukan secara bertahap-tahap sesuai dengan BAP.

C. Pemeriksaan Perkara
Tugas pokok pengadilan adalah sebagaimana yang diatur dalam UU No 14 Tahun 1978 pasal 2 yaitu: menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang melaksanakan tugas-tugas administrasi dalam rangka mencapai tugas pokok tersebut adalah panitera, sebagaimana tersebut dalam pasal 26 UU No 7 tahun 1989.
Proses pemeriksaan perkara perdat didepan persidangan dilakukan pada sidang pertama untuk menentukan beberapa hal yaitu:
1. Jika tergugat tidak hadir dalam persidangan pertama (dalam perkara contentiosa) maka akan diputuskan putusan verstek.
2. Apabila penggugat telah dipanggil secara patut dalam sidang pertama. Akan diputus perkara dinyatakan gugur (pasal 125 HIR/140 R.Bg
3. Apabila tergugat tidak hadir, walaupun telah dipanggil dengan patut perlu diperhatikan, kecuali surat itu berisi perlawanan (Eksepsi) bahwa PA yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadilinya, maka wksepsi itu harus diperiksa oleh hakim dan diputs setalah mendengar dari penggugat (pasal 125 ayat 2 HIR). Setelah dilakukan pemeriksaan dalam sidang pertama, kemudian dilanjutkan dengan jalannya persidangan yang terdiri dari:
a) Menurut SEMA No 10/1969, bahwa pada dasarnya pengadilan itu bersidang dengan majelis yaitu dengan tiga orang hakim, begitu pula dalam pasal 15 ayat 1 UU No 14 Tahun 1970
b) Tugas panitera sebelum sidang: mempersiapkan dan memeriksa segala sesuatu jalannya persidangan.
c) Ketua majelis membuka sidang sekaligus dinyatakan terbuka untuk umum dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Sebaliknya sidang tertutup untuk umum dimungkinkan kalau ada ketentuan khusus atau ada alasan khusus, misalnya sidang permusyawaratan m ajelis hakim yang bersifat rahasia (pasal 17 ayat 3 tahun 1970)
d) Ketua majelis menanyakan identitas para pihak, secara formal artinya sekalipun saja sudah tahu/kenal dengan pembaca surat gugatan/permohonan sebelumnya, namun ditanyakan kembali didepan sidang sangatlah mutlak.
Keterangan
1. Pada awal persidangan, damai atau inisiatif persidangan
2. Pada tahap pembacaan gugatan, maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil gugat atau petitum) sudah benar lengkap.
3. Pada tahap jawaban pihak penggugat diberi kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim.
4. Pada tahap replik, penggugat dapat menegakan kembali gugatannya yang disangkal oleh tergugat.
5. Pada tahap duplik, penggugat dapat menjeleskan kembali jawaban yang disangkal oleh tergugat
6. Tahap pembuktian, penggugat mengajukan semua alat-alat bukti untuk mendukung dalil-dalil gugat, dan sebaliknya.
7. Pada tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat terakhir tentang hasil pemeriksaan.
8. Pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara itu dan menyimpulkan dalam amar putusan, putusan hakim itu mengakhiri sengketa.

D. Penyelesaian Perkara
Apabila jawaban-jawaban antara penggugat dan tergugat telah sampai diketahui apa sebab yang menjadi pokok permasalahan (sengketa) kemudian persidangan dilanjutkan pada acara pembuktian oleh majelis hakim.


E. Pembuktian
Pembuktian adalah hanya diperlukan apabila dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat, apabila tidak dibantah perlu adanya pembuktian. Pembuktian dalam arti logis adalah untuk mencari kepastian yang relatif, sifatnya pertama didasarkan pada perasa belaka, kedua didasarkan pada pertimbangan akal.
Dalam arti yuridis berlaku hanya pihak yang berperkara, dengan demikian pembuktian dala arti yuridis tidak menuju kebenaran mutlak karena dimungkinkan adanya pengakuan, kesaksian, dan surat-surat yang isinya tidak benar atau palsu. Dengan demikian arti yuridis itu untuk memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa kepada hakim.
Dalam ketentuan pasal 164 HIR disebutkan, bahwa alat-alat bukti yang sah ada 5 macam:
1. Bukti surat yaitu suatu tulisan yang berisi keterangan tentang sesuatu, peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu dan ditandatangani. Bukti surat ini biasanya disebut akta, yang didalamnya dinyatakan suatu perbuatan atau peristiwa hukum.
Adapun akta dibagi 2 yaitu:
a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat akta itu. Akta tersebut mempunyai kekuatan dalam pembuktiannya, yaitu pembuktian formil dan materil
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang ditandatangani dandibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum.
2. Bukti saksi yaitu alat bukti berupa keterangan yang dikemukan oleh saksi tentang peristiwa yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Atau kepastian yang diberika oleh hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan yakni dengan jalan pembuktian secara lisan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak yang berperkara yang dipanggil kepengadilan
Yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: Keluarga sedarah semenda, Istri atau suami meskipun bercerai, Anak-anak dan Orang gila
3. Bukti persangkaan yaitu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, kearah suatau peristiwa yang belum terbukti yang menarik kesimpulan hakim.
4. Bukti pengkuan yang merupakan suatu pernyataan dari salah satu pihak tentang kebenaran suatu peristiwa, keadaan hal tertentu yang dapat dilakukan di dalam sidang maupun diluar sidang, pengakuan ada dua yaitu pengakuan klausa dan pengakuan klasifikasi.
5. Bukti sumpah yaitu suatupernyataan yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengingat atau sifat maka kuasanya tuhan. Sumpah disisni keterangan yang diberikan hakim kepada para pihak. Dalam hukum perdata ada 3 sumpah yaitu:
a) Sumpah pelengkap atau tambahan (suppletori) sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak untuk melengkapi hukum pembuktian;
b) Sumpah penaksiran/ sangkaan
c) Sumpah pemutus (decsoir) sumpah yang dibebankanatas permintaan salah satu pihak kepada lawannya.
Hukum pembuktian yang termasuk dalam hukum acara, terdiri dari unsur hukum formil yaitu pembuktian yang mengatur cara mengadakan pembuktian. Dan unsur hukum materil yaitu pengakuan tentang diterima atau tidaknya pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu.

F. Penyusun Konklusi (kesimpulan para pihak)
Setelah tahap pembuktian berakhir, sebelum musyawarah majelis hakim para pihak boleh mengajukan konklusi (kesimpulan dan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung). Karena sifatnya untuk membantu majelis, pada umumnya konklusi tidak diperlukan lagi perkara-perkara simple, sehingga hakim boleh meniadakannya.

G. Musyawarah Majelis Hakim
Menurut UU No 14 Tahun 1970 bahwa musyawarah majlis hakim dilakukan secara rahasia, tertutup untuk umum, dikatakan rahasia artinya dikala musyawarah maupun sesudahnya kapan dan dimana saja musyawarah majelis tersebut tidak boleh diketahui sampai dia mengucapkan yang terbuka untuk umum.
Hasil keputusan majelis hakim ditandatangani oleh semua hakim tanpa panitera sidang dan ini merupakan lampiran BAS dan inilah yang akan dalam dictum pendinginan

H. Putusan Hakim
Putusan majelis hakim di PA dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, setelah adanya pemeriksaan dan pembuktian suatu perkara yang tersusun rapi dan yang ditandatangani oleh semua hakim kecuali panitera.
Setelah keputusan itu diucapkan, hakim ketua majelis menanyakan kepada para pihak, apbila mereka menerima keputusan maka baginya tidak ada upaya hukum banding, sebaliknya bila merke amau menerima keputusan hakim, maka baginya untuk berfikir dahulu, pernyataan tersebut dicantumkan dalam BAS
Terhadap pihak yang tidak hadir ketika putusan diucapkan, maka tentu saja harus dibertahukan keputusan tersebut kepadanyam, upaya hukum banding, bagi para pihak yang hadir dan belum menerima putusan atau masih berfikir-fikir dahulu, baginya mereka berlaku upaya hukum banding 14 hari sejak jatuhnya palu putasan hakim.
Sedangkan Pengadilan Agama memeriksa perkara dan mengadilinya kemudian mengakhiri dengan mengeluarkan prodak berupa putusan yang merupakan pernyataan seorang hakim, sebagai pejabat negara yang berwenang dan diucapkan dimuka sidang.
Adapun yang dimuat dalam putusan itu adalah:
a. Kepala putusan b. Pertimbangan hukum
b. Identitas para pihak c. Diktum putusan
c. Duduk perkara
Putusan pengadilan mempunyai tiga kekuatan, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan bukti, dan kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan sudah mempunyai kekuatan hukum apabila hukum biasa tidak dilakukan dengan tenggang waktu untuk melakukannya telah habis. Sedangkan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, walaupun upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tidak dapat menghalangi eksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekutorial.





























BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Pengadilan Agama untuk kabupaten Bandung pada masa penduduk Belanda, tepatnya pada tahun 1882 telah terbentuk dengan sebutan raad agama, dengan “ kantor” di Mesjid Agung Bandung (kaum), setelah Indonesia merdeka, hal yang menyangkut hukum diberlakukan aturan. selama belum diatur hukum yang baru maka hukum yang lama masih di berlakukan, demikian pula dengan keberadaan Pengadilan Agama di kabupaten Bandung, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Baru pada tahun 1967 dengan keputusan menteri agama RI nomor 28 1967 tanggal 15 Maret dibentuklah Pengadilan Agama kabupaten Bandung di Cimahi, sebagai cabang Pengadilan Agama Bandung di Cimahi, dengan wilayah hukum meliputi wilayah kabupaten Bandung
Lokasi atau tanah tempat berdirinya gedung Pengadilan Agama Cimahi adalah merupakan tanah milik kelurahan Cimahi seluas 510 M2 dengan hak sewa berdasarkan SK.Gubernur \dt. 1 Jawa Barat No 556/pm/130/SK/176 Tgl 16 desember 1976
Tujuan pokok Pengadilan Agama yaitu mengurus masalah perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadaqah, izin beristri lebih dari seorang, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat, dispensasi kawin, pencegahan perkawinan, penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah, pembatalan perkawinan, gugatan perceraian penyelesaian harta bersama mengenai penguasaan anak-anak ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya, penentuan kewajiban memberik biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri, putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali cicabut. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaanya, penetapan asal usul seorang anak, putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, pernyataan tentang sahnya perkawinan (isbath nikah) yang terjadi sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang dijalanan menurut peraturan yang lain.dan ditambah dengan permasalahan yang menyangkut ekonomi syariah yang terdapat pada pasal 49 UU No 3 Tahun 2006
Adapun bidang kewarisan sebagaimana tersebut diatas, adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

B. Saran
Tugas Pengadilan Agama adalah menyesaikan perkara dibidang keperdataan untuk agama Islam. mempunyai hukum yang sering atau selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan perbuatan yang sering dilakukan atau diperbuat. Semuanya itu telah diatur oleh Islam, karena sifat hukumnya sangat fleksibel, jadi dalam perbuatan yang dilakukan pun bukan saja masalah keperdataan tetapi juga dalam bidang jinayah, siyasah
Saran penulis kepada pemerintah diusahakan bahwa diPengadilan Agama itu tidak hanya melaksanakan hukum keperdataan saja tetapi jinayah dan yang lainya pun bisa direalisasikan guna mempertahankan firman Allah dan rasulnya, agar kehidupan masyarakat khususnya umat Islam dan umumnya masyarakat selain Islam bisa terjalin ketentraman dan keamanan yang baik
Pengadilan merupakan wadah atau tempat orang mencari keadilan, sama halnya dengna Pengadilan Agama Cimahi yang berorientasi memberikan keadilan hanya untuk masyarakat yang berdomisili dalam wilayah Cimahi. Dalam aplikasi tugasnya sebagai staf atau karyawan lainnya berikut seorang hakim agar lebih professional dalam tugasnya penulis mengharapkan agar tata tertib sebagai pegawai harus dijunjung tinggi karena setiap orang yang berperkara akan melihat kedisiplinan seorang pegawai. Seorang hakim harus memberikan keputusan yang seadil-adilnya karena itu merupakan kewajiban seorang hakim
Untuk lebih memotivasi pekerjaan sebaiknya fasilitas yang kurang atau yang tidak dipakai harus segera diganti dengan yang baru atau yang lebih layak dipakai, supaya para pegawai lebih semangat dalam mengurus pekerjaannya.